Jumat, Februari 28, 2014

Kerinci, Pulang Untuk Kembali Lagi



Bagaimana rasanya, jika di tengah perjalanan kita diharuskan pulang?
Perjalanan yang telah dipersiapkan sebelumnya. 
Perjalanan yang sudah dibayangkan, bahagia diakhir ceritanya, walaupun tak selalu. Yang penting bisa pamer foto terbaru. Hahaha

Semua itu berhenti oleh sebuah kata, pulang. Ada rasa tidak terima di dalam hati. Pulang tak selalu jadi akhir dari setiap perjalanannya.
Begitulah yang saya alami dan dirasakan sampai ke lubuk hati. Sebelum menginjakkan kaki di atap sumatera pada ketinggian 3805 Mdpl. Kita semua, Bang Jamie, Bang Ayub, Mister Sergey, Kak Sari, Kak Yandhi, Karina, Kak Aan, dan Randa, memutuskan untuk pulang dan turun dengan indah dari shelter 2. Walau agak sedikit nyesek. Tapi kita harus pulang. Harusss..

Sepanjang jalan turun, saya sudah menerka-nerka dan membayangkan gimana reaksi orang-orang yang mengetahui saya menanjak Gunung Kerinci, dan diserbu dengan beberapa pertanyaan yang bisa membuat hati mimisan.

“foto di puncaknya mana ne?”
“lha, kok gak sampai puncak?”
“aduh..kasihan banget, ya..gak sampai puncak!”
*mendadak asah golok*
Selalu ada alasan disetiap keputusan.

Badai membuat kita memilih untuk turun dan pulang. Ini bukan waktunya untuk gagah-gagahan  melawan kekuatan alam.
Badai selalu mengiringi dan mengikuti langkah perjalanan kita dari awal pendakian. Namun kita mencoba untuk tetap positif thinking, badai pasti akan berlalu. Iya..berlalu..tapi saat kita udah sampai di bawah. Nyesek Broo..!

Saat bermalam di pos 2 pendakian Gunung Kerinci, tengah malam badai bertiup dengan kencangnya. Saya yang lagi berusaha untuk menganyam bulu mata jadi takut sendiri. Takut..kalau pepohonan di sekitar kita pada tumbang, dan menimpa tenda kita. Suara berisik dari ranting dan dedaunan pohon, menambah level ketakutan saya *peluk carrier*.

Masih berharap badai segera berlalu, kita tetap pada tujuan kita dan meneruskan pendakian kita. Mungkin karena kebanyakan ngarep kale, ya? Makanya, bikin nyesek.

Medan yang semakin lama menanjak dan menantang, membuat nafas saya tersenggal-senggol (bahasa apalah saya ini), pokoknya ngos-ngosan mirip teroris yang habis dikejar Densus 88. Suhu yang dingin dan tiupan angin, membuat ingus mengalir dengan indah dari sarangnya. Jika terlalu lama istirahat, dingin makin terasa sampai ke tulang.

Angin masih tetap mengiringi langkah kita. Gak capek apa, ngikutin kita terus!.  Makin ke atas, pepohonan rimbun makin berkurang. Tiupan angin makin terasa, bawaanya ingin segera memeluk kompor. Sepanjang jalan sudah banyak ranting-ranting pohon yang patah, pepohonan makin bergoyang sana-sini mirip goyang Caisar. Jadi, kita harus lebih hati-hati saat melewati pepohonan.

Hari semakin sore, tenaga dan kekuatan kita makin menurun. Kita semua terpisah jadi kelompok kecil. Saya yang mirip kuli angkut pasar ini, melangkahkan kaki aja udah satu-satu (kalau sekali dua pocong donk!). Hanya semangat yang masih tersisa untuk sampai di shelter 2. Semangatt..*kuatin ikat kepala*.

Bahkan, sampai-sampai saya terjatuh karena gak kuat berdiri lama, ditambah hembusan angin yang kuat. Saya memilih menjatuhkan diri ke tanah, daripada diterbangkan angin, trus nyangkut di pohon. Tidaaakk..

Melihat saya udah mirip suster ngesot, Kak Aan yang berada di belakang saya, langsung ketawa. Dan kita ketawa bersama biar penat tak terlalu terasa. Ahahaha...

Sejak mulai menginjakkan kaki di shelter 2, sampai malam harinya. Angin tak henti-hentinya bertiup. Kita yang dibagi dalam 3 tenda, memilih masuk dalam satu tenda. Susunan dalam tenda udah mirip ikan sarden yang siap dikirim dan dijual.
Malam itu, saya sudah gak memikirkan lagi untuk muncak dan ngejar sunrise  dan udah gak banyak berharap. Saya hanya bisa, ngurut kaki aja. Capek euy.. Woless Mbak Bro..woless..!!

Mungkin lebih baik saya bobok cantik aja deh di tenda. Angin yang begitu kencang, bahkan frame tenda milik randa patah. Menurut Bang Jamie, yang sudah gak terhitung berapa kali menginjakkan kaki ke gunung ini, se umur-umur  badai kali ini emang dahsyat. Lebih dahsyat dari dahsyat RCTI.

Ada benarnya juga pepatah “ tak kan lari gunung dikejar”, tapi saya yang suka lari..lari dari kenyataan. Berhubung Sergey dan Karina dari Rusia dan Bang Ayub dari Pekalongan, mereka memutuskan untuk tetap muncak dengan beberapa pendaki lainnya. Kasihan udah jauh-jauh kesini.
Sekitar pukul 03:00 pagi, Bang ayub mengendor-gendor tenda kita, meminta sumbangan mushala makanan buat bekal di perjalanan.

Trus yang gak muncak, ngapain?
Ya..sisanya, memutuskan bobo cantik dan melanjutkan mimpi, moga-moga aja mimpiin udah nyampe di puncak sambil memegang bendera merah putih, karena udah gak kuat lagi..nyerah..nyerah bro..!

Kita hanya berharap dan mendoakan, mereka yang muncak baik-baik saja.
Paginya, sekitar pukul 07:00 pagi lebih kurang, rombongan yang ikut muncak termasuk Sergey, Karina dan Bang Ayub kembali ke tenda. Beritanya, mereka gak sampai ke puncak. Makin ke atas badainya makin kuat karena tidak adanya vegetasi. Bahkan batu-batu pada berterbangan.

Jadi, gak ada alasan lagi untuk tidak memilih segera pulang. Badai bukan untuk dilawan. Tapi kita harus melawan ego yang ada di dalam diri kita, untuk segera turun dan pulang. Jangan sampai kita mengikuti ego diri sendiri, dan pada akhirnya akan mencelakakan diri kita sendiri. Nah lhoo?? Setidaknya kita semakin menyadari, bahwa kita manusia memiliki kekurangan. Sekuat-kuat manusia, pasti ada batas kekuatannya. 

Walau saya gak sampai puncak dan cuma numpang tidur cantik di gunung. tapi pendakian kali ini saya cukup ngambil hikmahnya saja. Bahwa alam itu bukan untuk ditaklukkan..keselamatan juga harus diperhatikan. Serta saya semakin menyadari, saya bukan apa-apa dibandingkan dengan ciptaan Tuhan dan kekuasaanya.
Yang penting, saya dan kak Aan mencatat rekor muri, karena berhasil BAK dan BAB dari ketinggian. Hahaha

Biar pun, kita semua memutuskan pulang. tapi pulang bukan akhirnya dari segalanya. Sergey, Karina dan Randa pulang untuk melanjutkan perjalanannya lagi ke Danau Gunung Tujuh. Bang Ayub gak mau kalah, ia malah melanjutkan perjalanannya ke Danau Gunung Tujuh dan Gunung Talamau, gunung tertinggi di Provinsi Sumatera Barat. Dan saya pun ikut pulang ke pangkuan guling tersayang.


*langsung pasang lagu Sheila on 7*

Aku pulangTanpa Dendam
Ku terima, kekalahanku.
..
huhuhuhu
Penampakkan dari shelter 2



Team Badai 
Photo By Sergey



Rabu, Februari 12, 2014

Diskon oh Diskon

Punya tampang pas-pasan kayak saya ini, emang suka nyesek *kaca mana kaca*. Kadang ada yang ngira pembantu, kadang ada yang bilang mirip bidadari..iya..bidadari guling-guling masuk kali..huhuhu..

Gak ada niat untuk protes kepada Sang Pencipta. Tapi..tapi..ya itu..manusia suka mempertanyakan apa yang terjadi pada dirinya. Termasuk saya, karena saya masih manusia..hehe..

Ya..kalau kita terus-terusan protes dan mempertanyakan. Kapan waktu buat mensyukurinya?
Tsaah...Sadaapp...( tumben saya ngomong bener, ya?)

Biar dikata anak gaoel Kota Padang, oleh karena itu saya memilih tempat ngadem di dalam Basko Grand Mall (emang apa hubungannya, ya?). sudah..sudah..abaiakan saja..:D

Hari itu, lupa tanggal berapa..pokoknya hari itu..sekalian ngadem saya mau belanja-belanji mirip ibu-ibu sosialita gitu.hehe.

Berhubung, wajah saya gak bisa digonta-ganti dan dibongkar pasang kayak topeng, jadi kemana-mana harus dibawa. Nasip..ya..nasip..( ingat pake B, ya Yura..)

Karena, sudah lama mengincar salah satu sepatu yang ada di sana. Kebetulan duit udah terkumpul hasil dari jaga lilin. Maka, harus disegerakan membelinya, jangan sampai diembat duluan ama yang lain.

Setelah nomor dan warna sepatunya cocok. Saya meminta, mbak-mbak SPG untuk membungkus. Dan saya diminta untuk langsung membayar ke kassa 5.

Sepertinya, si mbak-mbak SPG yang menjaga di kasir ragu, kalau saya gak bisa bayar sepatu itu. Sampai dua kali si mbak-mbak SPG bilang, “ ini gak didiskon, ya..”. Kali pertama, saya oke-oke saja. Kali keduanya, "ini gak didiskon,ya.." saya jadi gimana gitu. Tumben kali ini si mbak-mbak SPG ini cerewet. Apa karena tampang saya, tampang penggila diskon?  Iya juga sih, tapi dikit kok..asal semuanya cocok..cocok ama keuangan juga.hehe.

Walaupun sedikit gila diskon, kali ini, saya tau..kalau saya membeli sepatu yang gak didiskon..sepertinya si mbak-mbak SPG meragukan, saya bisa membayar sepatu itu. Hiks..tega-teganya..

Ya walaupun begitu..positif think aja deh..syukur, udah diingatin..saya aja yang keburu sensi..hehe..dan sepertinya saya harus sering-sering ngaca..lhaa??

Jumat, Februari 07, 2014

The Power Of Kebelet

Namanya juga kebelet, mengharuskan otak untuk bekerja lebih keras agar bisa melepaskan hasrat yang terasa. Tsaah. Jika tidak segara disalurkan, bisa membuat jiwa resah dan gelisah (saya ngomong apa ya?). 

Bahkan ada beberapa orang  melakukan di tempat yang tak biasa. Seperti, di balik pohon, di balik tiang listrik, di belakang tiang listrik, di semak-semak, bahkan di depan rumah mantan. Lha?? *mari abaikan*.

Saya adalah orang yang termasuk agak susah melepaskan perasaan kebelet di sembarang tempat. Kecuali kepepet..*lha? Itu kan sama aja, oneng..*. Contohnya lagi di atas gunung atau hutan.

Jadi kalau ingat masalah kebelet ini, saya ingin menceritakan tentang si bungsu, Mifta. Kalau saya udah ngumpul dan main sama mifta, pasti ada aja hal yang aneh kita lakuin. Walau tak jarang juga kita perang saudara, dan selalu baikkan lagi kalau udah ada makanan di depan TV. Andaikan perang di dunia bisa didamaikan dengan sepiring makanan, pasti perang gak akan berlangsung lama yang banyak menimbulkan korban jiwa dan harta.

Jadi, ceritanya begini. Mumpung lagi liburan sekolah, makanya saya mengajak si bungsu  untuk belajar ke sekolah (lha?). Walaupun kita sering cekcok dan sudah beberapa kali saya menggugat mifta ke kantor pengadilan tinggi, karena saya gak sanggup jadi kakaknya. Namun, saya juga yang sering mengajak si bungsu untuk liburan. Misalnya, kita main ke Bukittingi, untuk ngegembel di bawah jam gadang.

Keliatannya, saya makin ngawur. Mungkin karena kebanyakan tidur kale, ya..

Kebetulan waktu itu, sehabis makan sate madura di atas jembatan Ampera bertiga dengan teman saya, Kak Aan. Berhubung sudah malam dan perut sudah kenyang, kita harus segara pulang.
Dan masalah pun terjadi, ketika kita menunggu angkot untuk pulang.

“ uni..kebelet pipis..”
“ciyuss..kebelet pake banget, ya?”
“Ooh..unii...” sambil joged-joged nahan pipis
“ mau pipis dimana?, disini rame..toko semua..tahan dulu yaa..”
Mata saya bergerak liar mencari tempat nongkrong buat pipis untuk mifta. Walaupun sudah malam, saya belum menemukan tempat strategi. Orang-orang masih ramai lalu-lalang. Karena kelamaan mikir, adek saya sudah gak tahan.
“uni..kebelettt...”
“tahann...dulu yaa..disini gak ada tempat..di rumah ya..pokoknya harus tahannn..”
“iyaa uni...”

Tampang adek saya, mulai berubah aja..udah mirip ibuk-ibuk kebelet melahirkan yang air ketubannya sudah pecah. Angkot ke rumah belum lewat-lewat juga. Saya masih berharap, jangan sampai Mifta ngompol di keramaian ini. Jika itu terjadi, itu sangat mempermalukan saya yang malu-maluin ini.

Tujuh tahun kemudian...( woii..kelamaann...)

Angkot yang ditunggu datang juga. Taraa...gue langsung masuk ke dalam angkot. Saat itu dalam angkot hanya saya berdua dengan Mifta. Saya menguatkan Mifta, untuk terus menahan pipisnya, jangan sampai ngompol dalam angkot. Bisa-bisa saya dijadikan tumbal untuk mencuci angkot selama 100 tahun. Apa kata orang sekampung?


Gak tega melihat adek menahan pipis, yang mungkin udah mulai menetes dalam celana dalamnya. Daripada kelamaan menunggu sampai di rumah.  Akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti di salah satu plaza terkenal di Kota Padang. Kita berdua langsung ngacir mencari toilet terdekat. Dalam hati saya berkata
“ adek saya keren juga, yaa..pipis aja di plaza, apalagi boker..”  ( emang boker dimana, Yura? di got kale..)
Lha?..

Kamis, Februari 06, 2014

Dan Hujan pun Turun

Hampir 2 minggu lebih, hujan tak turun menyirami hati tanah ini. Saya mendadak kesepian dan rindu maksimal mendengar tetesan hujan jatuh di atas atap (maklum,saya gak pake genteng) tik..tik...tik..begitulah bunyinya..prott..prott..prottt..itu bunyi kentut saya.

Semua menjerit kepanasan, tak terkecuali saya yang keren ini *benerin jilbab*. Hanya sekedar mengintip matahari yang bersinar dari balik selimut, efeknya membuat saya malas keluar rumah. Saya mirip cewek yang dipingit karena mau nikah seminggu lagi padahaalll...emang iya..eh TIDAAAKKK...*jodoh mana jodoh*

Cuaca akhir-akhir ini luar biasa panasnyaa..otak saya dibikin mendidih *lebay*. Saya yang lagi ikutan program pemutihan untuk diikutkan dalam ajang miss understanding, harus mikir 100x untuk keluar rumah.

Beda banget dengan di Pulau Jawa yang kelebihan air, sampai banjir. Bener-bener pemandangan yang kontras.

Saya bener-bener merindukan hujan. Seperti cewek yang LDR-an ama cowoknya, yang berharap sekali segera bertemu dengan pujaan hati. Tsaah...Sadaappp..

Harapan saya terwujud. Lewat tengah malam, saya lupa pukul berapa, dan ngak ngecek jam. hehe. Dan hujan pun turunnn...adem sekalii...saya yang sudah LDR dengan selimut beberapa minggu ini, tiba-tiba menarik selimut kembali.

Tak terbayangkan jika saya tinggal di negara yang mempunyai musim panas yang panjang. Mungkin bisa membuat saya mengurung diri dalam kamar. Ternyata, masih ada hal yang membuat saya untuk bisa bersyukur lahir di tanah ini..:D.


Dan..saya bingung mau nulis apa..ini ada bonus dari saya..dengarin aja  lagu ini yaa..;)

Kau keluhkan dingin malam yang menusuk hingga ke tulang
Hawa ini kau benci
Dan kau inginkan tuk segera pergi
Berdiri angkat kaki
Tiada raut riangmu di muka, pergi segera